BLOG UNTUK MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB KELAS C SEMESTER I

Minggu, 14 Desember 2014

SEJARAH TADWIN HADITS

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Panjangnya masa dari zaman Rasulullah hingga sekarang ini menimbulkan berbagai corak dan cara pandang dalam memahami hadits. Maka dalam hal ini Mempelajari Ilmu hadits dan mengetahui tentang segala seluk beluknya tidak bias terlepas dari pengetahuan tentang sejarah pembukuan hadits. Dalam makalah ini akan dibahas tentang sejarah dan perkembangan tadwinul hadits


B.      Permasalahan
1.       Apakah yang dimaksud tadwinul hadits?
2.       Bagaimana perkembangan tadwinul hadits?
3.       Kapankah proses tadwinul hadits di mulai?
4.       Siapa saja tokoh yang paling berperan dalam tadwinul hadits?
5.       Mengapa perlu di adakan tadwinul hadits?
C.      Tujuan Pembahasan
1.       Mengetahui sejarah tentang tadwinul hadits.
2.       Mengetahui latar belakang dilakukannya tadwinul hadits.
3.       Mengetahui tokoh-tokoh yang berjasa dalam tadwinul hadits.
BAB II
Pengertian Tadwinul Hadits
A.      Pengertian Tadwin dan Tadwinul Hadits
Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dawwan, “menulis” atau “mendaftar”. Secara bahasa, kata tadwin mengandung arti “penghimpunan”, seperti disebutkan dalam kamus taj al-‘Arus: dawwanahu tadwinan jama’ahu.
Secara istilah terdapat beberapa padnangan dalam mengartikan tadwin hadits. Muhammad Darwisy, misalnya, mengartikan tadwin hadits dengan, “penulisan (kitabah) hadits-hadits yang berasal dari Nabi shallallahi’alaihiwasallam dan penghimbpunannya dalam satu atau beberapa shahifah, sampai akhirnya menjadi sebuah kitab yang tertib dan teratur, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali menjadikannya sebagai dalil”. Manna’ al-Qaththan mendefinisikan tadwin hadits dengan, “usaha pengumpulan hadits yang sudah dituliskan dalam bentuk shuhuf atau yang masih terpelihara dalam bentuk hafalan dan kemudian menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab.” Sedangkan al -Zahrany mengajukan pengertian tadwin (hadits) dengan “tashnif dan ta’lif.” Ahmad amin mengartikan tadwin dengn,” mengikat (taqyid) akhbar dan atsar dalam bentuk tulisan.”
Dari beberapa definisi secara istilah di atas dapat dipahami bahwa tadwin hadits merupakan upaya penghimpunan hadits dalam bentuk tulisan, shahifah ataupun kitab. Namun masih ada perbedaan tertentu antara masing-masing definisi. Dalam definisi Muhammad Darwisy, Tadwin Hadits mencakup penulisan teks hadits untuk yang pertama kali dan umumnya berasal dari rekaman lisan (kitabah), lalu pengumpulan hadits-hadtis yang berasal dari rekaman lisan tersebut( jam’), dan akhirnya penyusunan hadits dalam sebuah kitab secara tertib dan teratur (tashnif). Sementara Manna’ Qaththan membatasi tadwin hadits hanya pada penghimpunan (jam’) hadits yang berasal dari shahifah-shahifah (shuhuf) ataupun dari rekaman lisan (yang belum dituliskan) menjadi sebuah kitab. Menurut definisi Az-Zahrany, tadwin hadits mencakup pengertian tashnif (penyusunan hadits dalam sebuah kitab secara tertib dan sistematis) dan ta’lif (penyusunan hadits dalam sebuah kitab). Berbeda dengan rumusan Ahmad Amin yang membatasi pengertian tadwin dengan mengikat hadits dalam bentuk tulisan secara lebih umum. [1]

B.      Persamaan dan Perbedaan Tadwin, Tashnif, Ta’lif, Jam’ dan Kitabah
                Menurut pengamatan Azami, sejauh ini telah muncul misinterpretasi terhadap istilah tadwin (penghimpunan), tashnif (pengklasifikasian), dan kitabah (penulisan), yang berakibat pada kesalahpahaman tentang awal penulisan hadits. Imtiyaz Ahmad juga mengakui jika terjadi misinterpretasi atas istilah tadwin, tashnif, jam’ dan kitabah, dan sejenisnya, yang membawa kepada persepsi yang keliru mengenai keterlambatan dokumentasi hadits.[2] Berikut ini akan kami jelaskan pengertian istilah-istilah tersebut:
a)      Tadwin
Seperti yang telah dijelaskan pada pengertian tadwin terdahulu, kata tadwin lebih berarti pengumpulan dari suatu dokumen/tulisan-tulisan maupun dari rekaman lisan yang tersebar yang kemudian dikumpulkan menjadi suatu kitab/shuhuf.
b)      Tashnif
        Tashnif merupakan penghimpunan hadits secara sistematis yang diklasifikasikan menurut subjek-subjek atau bab-bab tertentu. Karenanya, tashnif terkadang juga disebut dengan tabwib (penyusunan hadits berdasarkan bab-bab tertentu). Di samping itu, tashnif dapar berarti penyusunan ulang materi tertulis secara praktis ke dalam juz-juz dan pasal-pasal yang berlainan.[3]
c)       Ta’lif
Kata ta’lif mempunyai makna pokok “menggabungkan satu atau banyak entitas dengan entitas lainnya.” Dalam Taj al-Arus disebutkan, “Allafa bainahuma ta’lifan”, yang artinya, “mempersatukan atau mengumpulkan keduanya setelah bercerai-berai, dan menyambungkannya.” Menurut Al-Jurjany, istilah ta’lif mengandung arti “mengandung sesuatu yang banyak dengan nama  yang satu, sama saja sebagian juznya dihubungkan dengan bagian yang lain, dengan pengawalan dan pengakhiran ataupun tidak.” Dari sini, maka pengetian ta’lif hadits adalah usaha penghimpunan hadits dalam sebuah kitab, baik disertai dengan pengklasifikasian ataupun tidak. Jadi, ta’lif pemakaiannya lebih umum daripada tartib atau tashnif.[4]
d)      Jam’
        Dibanding dengan istilah kitabah, tashnif dan ta’lif, tampaknya istilah jam’ mempunyai pengertian yang lebih dekat dengan tadwin. Seperti disinggung sebelumnya, kata tadwin secara literal berarti “penghimpunan” (jam’). Hanya saja, kata jam’ lebih sering digunakan dalam konteks dokumentasi al-Quran yang mengandung dua pengertian: (1) perekaman dalam hafalan (hifzh); dan (2) penulisan (kitabah). Dalam konteks pemakaian umum, kata jam’ lebih sering diartikan dengan kitabah daripada hifzh.[5]



C.       
BAB III
Sejarah dan Perkembangan Tadwin Hadits

A.      Periode Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam (Masa Turunnya Wahyu)
                Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani pada masa Rasulullah belum ada usaha tadwinul hadits dikarenakan oleh dua faktor utama, yaitu:
1.       Tidak dianjurkan oleh Rasulullah karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya dengan al Quran.
2.       Kuatnya hafalan para sahabat dan tradisi baca tulis masih dalam perkembangan
                Selain dua faktor tersebut juga dikhawatirkan akan berpalingnya sahabat dari Al Quran.
                Pada masa ini para sahabat lebih ditekankan dalam penulisan dan penghafalan Al Quran. Dalam hadits yang dirawayatkan sahabat Abu Said Al Khudhry, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
لا تكتبوا عني و من كتب عني غير القرأن فليمحه وحدثوا عني ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه مسلم)

“Janganlah kalian menulis (hadits) dariku dan barangsiapa menulis selain Al Quran dariku, hendaklah ia menghapusnya. Kabarkanlah (hadits) dariku dengan leluasa dan barangsiapa yang berdusta dengan sengaja atas namaku, maka bersiap-siaplah tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim)[6]
Meskipun demikian hal tersebut tidak dinafikkan akan adanya proses penulisan hadits, terutama oleh para sahabat yang telah diakui keahliannya dalam kebahasaan dan tulis menulis. Diantaranya adalah hadits yang ditulis Abdullah bin Amr bin Ash. Diterangkan oleh Abu Dawud dalam suatu riwayat:
عن عبد الله ابن عَمر و قال كنت أكتب كل شيء اسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم، اريد حفظه فنهتني قريش وقالوا أتكتب كل شيئ تسمعه و رسول الله صلى الله عليه وسلم بشر يتكلم في الغضب والرضا؟ فامسكت عن الكتاب فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فأومأ باصبعه الى فيه فقال اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه الا حق
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, ‘Aku menulis segala yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam (karena) aku ingin memeliharanya. Namun, seorang Quraisy melarangku dan berkata, ‘Apakah kau tulis segala yang kau dengar, sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam adalah manusia biasa yang berada dalam marah dan dalam suka?’ Kemudaian, aku pun menahan diri dari penulisan itu. Kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah. Beliau bersabda, ‘Tulislah, demi yang diriku ada di tangan-Nya tidak ada yang keluar darinya kecuali yang haq.”[7]
Dari riwayat-riwayat di atas terdapat suatu pertentangan (ikhtilaf) yang kemudian disebut dengan hadits mukhtalaf. Para ulama memberikan teori kemungkinan dan kompromi dalam memahami hadits mukhtalaf tersebut:
1.       Pencatatan hadits dilarang pada permulaan Islam, sedangkan tatkala Islam sudah tersebar luas para sahabat diperbolehkan mencatatnya.
2.       Pencatatan hadits dilarang bagi mereka yang belum bias membedakan antara ayat-ayat Al-Quran dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
3.       Pencatatan hadits dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah dan bagi mereka yang sulit memahaminya diizinkan mencatatnya.
4.       Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukkan dengan Al Quran.
5.       Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits daripada Al-Quran yang sekiranya akan menyia-nyiakan Al-Quran.[8]
Adapun para sahabat yang diperbolehkan untuk mencatat hadits dari Rasulullah adalah sahabat yang diakui akan keahliannya dalam tulis menulis dan dokumentasi sehingga tidak ada kekhawatiran akan tercampur dengan Al Quran.
Selain yang tersebut di atas penulisan hadits juga dilakukan pada saat-saat tertentu terutama mengenai urusan kenegaraan, seperti piagam/perjanjian (baiat Aqabah, Hudaibiyah, Piagam Madinah) dan surat-menyurat dan juga ada beberapa wasiat dari Rasulullah.
B.      Periode Sahabat
                Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.[9] Para sahabat terbagi dalam dua pandangan dalam penulisan hadits. Sebagian sahabat tidak mengakui adanya penulisan hadits dan diantara yang lain setuju dengan penulisan hadits. Ibnu Shalah dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kelompok sahabat yang tidak menyetujui penulisan hadits adalah Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Sa’id Al-Khudhry dan yang lainnya. Sedangkan kelompok sahabat yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Anas bin Malik dan yang lannya.[10] Pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab perkembangan periwayatan hadits belum terlalu signifikan karena belum ada pengajaran ilmu hadits secara khusus sebagaimana Al Quran. Hadits waktu itu hanya diketahui dan dipelajari oleh kalangan tertentu dan orang-orang yang mendalaminya sangat terbatas. Kebijakan tersebut tidak lain dilakukan agar Al Quran tetap menjadi sumber ajaran utama dan menerima hadits dari sahabat-sahabat lain di waktu-waktu tertentu.[11]
                Mekipun demikian, di masa sahabat juga didapati dokumen-dokumen penulisan hadits baik yang dilakukan sejak masa Rasulullah maupun setelah Rasulullah meninggal. Perlakuan ini dilakukan pada kondisi khusus dan tidak menjadi suatu yang umum pada masa itu. Dokumen-dokumen peninggalan era sahabat diantaranya adalah:
1.       Ash-Shahifat Ashadiqah. Adalah kumpulan Hadits Rasulullah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Menurut Ibn Al-Atsir di dalamnya terdapat 1.000 hadits.[12]
2.       Shahifat Ali bin Abi Thalib, yaitu lembaran-lembaran catatan hadits. Di dalamnya berisi tentang zakat, hukum pidana, dan lainnya, disimpan dalam sarung pedang beliau.
3.       Kitab Faraidl milik Zaid bin Tsabit. Beliau yang pertama kali mencatat yang berisi koleksi hadits seputar hukum waris atas permintaan Khalifah Umar bin Khaththab.[13]
4.       Shahifat Jabir ibn Abdillah. Jabir ibn Abdillah dikenal memiliki sebuah shahifat hadits, yang berisi hadits-hadits yang beliau catat ketika mengajar murid-muridnya. Selain itu ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau juga mempunyai sebuah kitab kecil yang berisi tentang manasik haji.
5.       Nushkhat Samurah ibn Jundub. Beliau telah menghimpun sejumlah hadits-hadits Rasulullah ke dalam bentuk buku yang dinamakan nuskhah (terkadang juga disebut shahifat, risalah dan kitab). Di antara yang telah menerima dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Salman bin Samurah bin Jundub, Ibnu Sirrin dan Hasan Al Bashry.
6.       Kitab dan Mushhaf Fathimah Az-Zahra. Dilaporkan bahwa beliau memiliki shahifah atau kitab yang berisi wasiat-wasiatnya sendiri. Di dalamnya terdapat hadits-hadits dari Rasulullah.[14]
7.       Selain dokumen-dokumen hadits yang telah dipaparkan, masih ada puluhan lagi dokumen yang ditulis oleh atau berasal dari para sahabat baik yang berupa nuskhat, shahifah atau pun kita.[15]
C.      Periode Tabiin
                Masa ini dikenal dengan masa perkembangan riwayat. Perkembangan riwayat dan perlawatan-perlawatan ahli hadits untuk mencari dan mengumpulkan hadits melebihi masa sebelumnya.[16] Pandangan para tabiin berkenaan dengan penulisan hadits pada umumnya sesuai dengan pandangan para sahabat yang menjadi guru mereka. Meskipun demikian adanya pelarangan penulisan hadits tidak lah berlaku permanen. Mereka umumnya melarang penulisan hadits ketika sebab-sebab pelarangan itu masih ada, dan sebaliknya mereka membolehkan aktivitas penulisan ketika sebab-sebab pelarangan telah hilang. Bahkan, menurut hasil penelitian Muhammad Mustafa Azami dan Imtiyaz Ahmad, dari seluruh tabiin yang dikabarkan tidak menyetujui penulisan hadits ternyata hampir semuanya mempunyai catatan hadits atau setidaknya mengizinkan murid-muridnya untuk mencatatnya.
                Pada masa ini telah dilakukan tadwinul hadits secara resmi atas prakarsi Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diantara ulama yang ditunjuk oleh beliau untuk melaksanakannya adalah Ibnu Syihab Az Zuhry (lama Hijaz) dan Ibnu Hazm (Gubernur Madinah). Diantara factor yang mendorong usaha tersebut adalah Khalifah merasa khawatir  akan punahnya pengetahuan hadits karena kepergian para ulama. Namun sayangnya hanya Az-Zuhry yang berhasil melakukan misinya sebelum khalifah wafat.[17] Usaha peghimpunan oleh Az-Zuhry sebenarnya belum dikatakan sempurna, yaitu ketika masa kekhalifahan Umar yang hanya berlangsung 2,5 tahun. Kemudian usaha itu dilanjutkan pada masa Yazid II dan Hisyam bin Abdul Malik setelah beliau diangkat menjadi Qadhi Qudhat.
                Selain yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa shahifat-shahifat yang berasal dari kalangan tabiin:
1.       Shahifat Said ibn Jubair.
2.       Shahifat Sulaiman ibn Qais.
3.       Shahifat Hamam ibn Munabbih.

D.      Periode Tabiitabiin
                Pada masa in telah dilakukan pengumpulan hadits secara sistematis dan merupakan era perkembangan hadits yang sangat penting. Cirri-ciri umum tadwin hadits pada masa ini yaitu[18]:
1.       Mulai ada pemilahan antara tadwin yang hanya sekadar menghimpun hadits dengan tashnif, yaitu menyusun hadits secara teratur dan sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek tertentu.
2.       Karya-karya kompilasi hadits yang ditulis selama periode ini menggabungkan antara hadits Nabi, pendapat sahabat (khabar), dan fatwa tabiin (atsar). Berbeda dengan shahifat-shahifat sebelumnya yang pada umumnya hanya berisi hadits Nabi saja.
Diantara kitab-kitab hadits yang ditulis pada masa ini yaitu:
1.       Muwaththa’ Imam Malik bin Anas bin Malik. Kitab ini belau tulis selama 40 tahun lalu dibacakan kepada 70 ulama Fiqih di Madinah, dan mereka semua merasa memperoleh kemudahan darinya. Maka dari itu kitab ini diberi nama Muwaththa’ yang berarti “dimudahkan”. Menurut Abu Bakr al-Abhary di dalamnya memuat 1.720 hadits dengan rincian hadits musnad berjumlah 600 buah, hadits mursal 222 buah, hadits mauqif 613 buah dan hadits maqthu’ 285 buah.
2.       Muwaththa’ ‘Abdullah ibn Wahb. Di dalamnya termuat tidak kurang dari 521 buah hadits yang ditulis berdasarkan sistematika Fiqih.
3.       Musnad Abi Dawud Ath Thayalisi. Kitab ini dianggap sebagai karya hadits pertama yang disusun dengan menggunakan metode musnad yaitu disusun berdasarkan urutan nama sahabat periwayat hadits yang dimulai dari nama Abu Bakr. Di dalamnya termuat sekitar 2.767 hadits.
4.       Mushannaf Abd Al-Razzaq. Mushannaf ini disusun berdasarkan sistematika Fiqih dan memuat sekitar 21.033 hadits.
5.       Sunan dan Musnad Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy; keduanya disusun berdasarkan sistematika fikih. Kitab Sunan terdiri dari 684  hadits, sedang kitab Musnad terdiri dari 1.772 hadits.
E.       Periode atba’ tabi’it tabi’in
        Periode ini mengalami perkembangan dari periode sebelumnya. Diantara corak perkembangan penulisan hadits pada periode ini yaitu[19]:
1.       Telah dilakukan pemilahan antara hadits Nabi dengan yang lainnya. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya yang masih menggabungkan antara hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam dengan pendapat-pendapat para sahabat dan fatwa-fatwa tabiin.
2.       Sudah mulai ada perhatian untuk memberi penjelasan tentang derajat hadits dari segi keshahihan dan kedaifannya.
3.       Karya-karya hadits yang ditulis dapat mengambil judul: musnad, shahih, sunan, mukhtalif hadits, atau yang lainnya.
                Periode ini termasuk periode puncak kompilasi hadits Nabi; dan munculnya kitab-kitab hadits terkenal adalah pada masa ini. Diantara kitab-kitab hadits yang telah tersusun pada masa itu antara lain:
a.       Shahih Al-Bukhari.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin al-Bardzibah al-Bukhary al-Ju’fy. Judul lengkap kitabnya yaitu al- Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah Shallalahu’alaihiwasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi  (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم و سننه وايامه). Sistematika kitab Shahih  al-Bukhary terdiri dari beberapa Bab (kitab) dan jumlahnya mencapai 97 judul bab.[20] Berdasarkan angka penomoran hadits paling akhir dalam naskah kitab yang diedit oleh Mustafa adz-Dzahaby, kitab shahih al-Bukhary terdiri dari 7.563 hadits. Menurut Ibn ash-Shalah, jumlah haditsnya sebanyak 7.275 hadits, termsuk yang terulang, atau 4.000 hadits tanpa pengulangan. Sementara menurut penghitungan Ibn Hajar Al-Asqalany, jumlah haditsnya mencapai 9.082 buah, termasuk yang diulang. Namun jika dihitung tanpa pengulangan, maka jumlah haditsnya hanya 2.062 buah.[21]
b.      Shahih Muslim
Disusun oleh Abu Al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim ibn Warad ibn Kausyadz al-Qusyairy an-Naisabury. Beliau dilahirkan pada 206 H dan wafat pada 261 H pada usia 55 tahun. Judul lengkap kitabnya yaitu al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasulillah Shallallahu’alaihiwasallam (المسند الصحيح المختصر من السنن بالنقل العدل عن العدل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم). Jumlah hadits yang termuat di dalamnya sekitar 4.000 hadits, tanpa pengulangan, atau 12.000 hadits, dengan pengulangan. Sistematika pembahasannya terdiri dari atas 54 bab (kitab) yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa subbab (bab). Judul bab dan subbabnya tidak ditulis oleh Muslim sendiri, tetapi dicantumkan oleh para Ulama dan pensyarah yang hidup sesudahnya. Ulama yang paling baik membuat judul-judul babnya adalah Imam an-Nawawy dalam kitab syarh Muslimnya.[22]
c.       Sunan Abi Dawud.
Disusun oleh Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syadah ibn ‘Amr ibn ‘Amran Abu Dawud al-Azdy al-Sijistany.[23] Karya ini dipandang sebagai salah satu karya terbaik dan terlangkap dalam bidang hukum. Sistematika pembahasannya diurutkan klasifikasi bab-bab fikih yang terdiri dari 40 judul bab. Jumlah hadits yang dimuat sebanyak 4.800 hadits, tanpa pengulangan, atau 5.274 hadits, dengan pengulangan.
d.      Jami’ At-Tirmidzi
Kitab jami’ ini disusun oleh Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dlahhak As-Sulamy At-Tirmidzy (w. 279 H)[24]. Judul lengkapnya adalah al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘n Rasulillah Shallallahu’alaihiwasallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul al-‘Amal (الجامع المختصر من السنن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم و معرفة الصحيح و المعلول و ما عليه العمل). Sistematika kitab ini diurutkan berdasarkan bab-bab Fikih dan bab-bab lainnya. Susunan bab (kitab) di dalamnya terdiri dari atas 46 judul bab. Jumlah hadits yang dihimpun sekitar 3.956 hadits.[25]
e.      Sunan an-Nasa’i
Kitab ini ditulis oleh Abu ‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Aliy ibn Sinan ibn Bahr ibn Dinar al-Nasa’I (w. 303 H).[26] Judul awalnya adalah al-Mujtaba, namun kemudian dikenal dengan Sunan al-Shughra. Metode penyusunannya mengikuti sistematika fikih. Susunan babnya (kitab) terdiri atas 51 judul bab. Jumlah haditsnya sebanyak 5.761 buah.[27]
f.        Sunan ibn Majah
Karya ini disusun oleh Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid ibn Abdillah ibn Majah al-Riba al-Qazwiny (w. 375 H).[28] Sistematika pembahasannya terdiri atas 32 bab (kitab) dan 1.500 subbab (bab). Jumlah haditsnya mencapai 4.341 hadits.[29]
F.       Periode Pasca Atba’ Tabi’ittabi’in
Pada masa ini masih terus dilakukan tadwin hadits, yaitu hingga abad V Hijriyah. Penulisan judul hadits masih mengikuti judul-judul sebelumnya, seperti: ash-shahih, sunan dan musnad lalu ditambah dengan judul-judul baru seperti mustadrak, mustakhraj, mu’jam dan majma’.[30] Diantara kitab terkenal yang berhasil disusun yaitu:
a)      Mu’jam Thabrany
Disusun oleh Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub ibn Muthair al-Lakhamy al-Syamiy al-Thabrany.[31] Beliau menulis 3 buku yaitu Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Ausath, dan Mu’jam al-Shaghir. [32] Jika dikatakan Mu’jam secara umum maksudnya adalah Mu’jam al-Kabir.  Mu’jam Al-Kabir terdiri dari 60.000 hadits; Mu’jam al-Ausat terdiri dari 30.000 hadits; dan Mu’jam ash-Shaghir terdiri dari hadits yang diriwayatkan 100 guru dan pada umumnya masing-masing guru meriwayatkan  satu hadits.[33]
b)      Mustadrak Al Hakim. Tersusun atas 50 judul bab (kitab) dan terdiri dari 8.690 hadits.
c)       Shahih ibn Khuzaimah
d)      Shahih ibn Hibban
e)      Sunan Daruquthny[34]


BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Proses penulisan hadits melewati periode yang panjang, tidak seperti al Quran sehingga memunculkan berbagai corak dalam penulisan kitab hadits. Keterlambatan penulisan hadits dikarenakan dikhawatirkannya umat berpaling dari Al Quran dan para sahabat lebih mengandalkan hafalan dibanding tulisan. Terdapat beberapa teori tentang awal mula tadwin hadits. Perbedaan persepsi tersebut berangkat dari perbedaan pengertian dari istilah tadwin, tashnif, ta’lif, jam’ dan kitabah. Namun dari berbagai teori yang ada yang paling masyhur adalah dimulainya tadwin hadits secara resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Dan aktivitas penyempurnaan tadwin hadits terus berlangsung paling tidak hingga abad ke-5 Hijriyah.
B.      Saran
Sangat ditekankan bagi pelajar ilmu hadits untuk mempelajari secara komprehensif tentang sejarah tadwin hadits ini. Selain sebagai penambah khasanah keilmuan, studi ini juga sangat berkaitan erat dengan studi kritik. Semoga hadirnya makalah ini dapat member manfaat bagi para pembaca. Hanya kepada Allah lah kita memohon hidayah dan taufiq.
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011
                Abdurrahman, dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadits. Bandung: Remaja Kostakarya. 2013
                Muhibbin. Hadits-Hadits Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
                At-Thahan, Mahmud. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits (terjemah). Surabaya: Bina Ilmu. 1995




[1] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits Dan Historiografi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35-37.
[2] Ibid, hlm.37-38.
[3] Ibid, hlm. 39-40.
[4][4] Ibid, hlm. 40.
[5] Ibid, hlm. 40.
[6] Muslim binHajjaj an-Naishabury, Shahih Muslim, juz II, n.p, d.p., hlm. 598.
[7] Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: Remaja Kostakarya, 2013, hlm. 4.
[8] Syihabuddin ibn Hajar Al Asqalani, Muqaddimah Fathul Bary, Beirut: Dar Ma’rifat, tth., hlm. 4. Ibid, hlm. 6.
[9] Hasbi Ash-Shidiqie, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, cet. 2, hlm. 206, 211. Abdurrahman dan Elan Sumarna, op. cit., hlm 70.
[10] Saifuddin, op. cit., hlm. 124.
[11]  Abdurrahman dan Elan Sumarna, op. cit., hlm. 76-77.
[12] Saifuddin, op. cit., hlm. 128.
[13] Ibid, hlm. 133.
[14] Ibid, hlm. 134.
[15] Loc. Cit.
[16] Abdurrahman dan Elan Sumarna, Op. Cit, hlm.79
[17] Saifuddin, op. cit., hlm. 144-145.
[18] Ibid, hlm 148-149.
[19] Ibid, hlm 157.
[20] Ibid, hlm. 158.
[21] Ibid, hlm. 209.
[22] Ibid, hlm 159.
[23] Ibid, hlm. 326.
[24] Ibid, hlm. 211.
[25] Ibid, hlm. 160.
[26] Ibid, hlm. 211.
[27] Ibid, hlm. 161.
[28] Ibid, hlm. 211.
[29] Ibid, hlm. 161.
[30] Ibid, hlm. 163.
[31] Ibid, hlm. 213.
[32] Ibid, hlm. 164.
[33] Mahmud Thahan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits (terjemah),Surabaya: Bina Ilmu, 1995, hlm 30.
[34] Saifuddin, op. cit. hlm 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar