PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Panjangnya masa dari zaman Rasulullah hingga
sekarang ini menimbulkan berbagai corak dan cara pandang dalam memahami hadits.
Maka dalam hal ini Mempelajari Ilmu hadits dan mengetahui tentang segala seluk
beluknya tidak bias terlepas dari pengetahuan tentang sejarah pembukuan hadits.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang sejarah dan perkembangan tadwinul hadits
B. Permasalahan
1.
Apakah yang dimaksud tadwinul
hadits?
2.
Bagaimana perkembangan tadwinul
hadits?
3.
Kapankah proses tadwinul
hadits di mulai?
4.
Siapa saja tokoh yang
paling berperan dalam tadwinul hadits?
5.
Mengapa perlu di adakan tadwinul
hadits?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui sejarah tentang tadwinul
hadits.
2.
Mengetahui latar belakang
dilakukannya tadwinul hadits.
3.
Mengetahui tokoh-tokoh yang
berjasa dalam tadwinul hadits.
BAB II
Pengertian
Tadwinul Hadits
A. Pengertian Tadwin dan Tadwinul Hadits
Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dawwan,
“menulis” atau “mendaftar”. Secara bahasa, kata tadwin mengandung
arti “penghimpunan”, seperti disebutkan dalam kamus taj al-‘Arus: dawwanahu
tadwinan jama’ahu.
Secara istilah terdapat beberapa padnangan dalam mengartikan tadwin
hadits. Muhammad Darwisy, misalnya, mengartikan tadwin hadits
dengan, “penulisan (kitabah) hadits-hadits yang berasal dari Nabi shallallahi’alaihiwasallam
dan penghimbpunannya dalam satu atau beberapa shahifah, sampai akhirnya menjadi
sebuah kitab yang tertib dan teratur, serta menjadi rujukan umat Islam setiap
kali menjadikannya sebagai dalil”. Manna’ al-Qaththan mendefinisikan tadwin
hadits dengan, “usaha pengumpulan hadits yang sudah dituliskan dalam bentuk
shuhuf atau yang masih terpelihara dalam bentuk hafalan dan kemudian
menyusunnya hingga menjadi sebuah kitab.” Sedangkan al -Zahrany mengajukan
pengertian tadwin (hadits) dengan “tashnif dan ta’lif.”
Ahmad amin mengartikan tadwin dengn,” mengikat (taqyid) akhbar dan atsar dalam
bentuk tulisan.”
Dari beberapa definisi secara istilah di atas dapat dipahami bahwa
tadwin hadits merupakan upaya penghimpunan hadits dalam bentuk tulisan, shahifah
ataupun kitab. Namun masih ada perbedaan tertentu antara masing-masing
definisi. Dalam definisi Muhammad Darwisy, Tadwin Hadits mencakup penulisan
teks hadits untuk yang pertama kali dan umumnya berasal dari rekaman lisan
(kitabah), lalu pengumpulan hadits-hadtis yang berasal dari rekaman lisan
tersebut( jam’), dan akhirnya penyusunan hadits dalam sebuah kitab secara
tertib dan teratur (tashnif). Sementara Manna’ Qaththan membatasi tadwin
hadits hanya pada penghimpunan (jam’) hadits yang berasal dari
shahifah-shahifah (shuhuf) ataupun dari rekaman lisan (yang belum dituliskan)
menjadi sebuah kitab. Menurut definisi Az-Zahrany, tadwin hadits
mencakup pengertian tashnif (penyusunan hadits dalam sebuah kitab secara tertib
dan sistematis) dan ta’lif (penyusunan hadits dalam sebuah kitab). Berbeda
dengan rumusan Ahmad Amin yang membatasi pengertian tadwin dengan
mengikat hadits dalam bentuk tulisan secara lebih umum. [1]
B. Persamaan dan Perbedaan Tadwin, Tashnif, Ta’lif, Jam’
dan Kitabah
Menurut pengamatan Azami,
sejauh ini telah muncul misinterpretasi terhadap istilah tadwin
(penghimpunan), tashnif (pengklasifikasian), dan kitabah (penulisan), yang
berakibat pada kesalahpahaman tentang awal penulisan hadits. Imtiyaz Ahmad juga
mengakui jika terjadi misinterpretasi atas istilah tadwin, tashnif, jam’
dan kitabah, dan sejenisnya, yang membawa kepada persepsi yang keliru mengenai
keterlambatan dokumentasi hadits.[2] Berikut ini akan kami jelaskan pengertian
istilah-istilah tersebut:
a) Tadwin
Seperti
yang telah dijelaskan pada pengertian tadwin terdahulu, kata tadwin
lebih berarti pengumpulan dari suatu dokumen/tulisan-tulisan maupun dari
rekaman lisan yang tersebar yang kemudian dikumpulkan menjadi suatu
kitab/shuhuf.
b) Tashnif
Tashnif merupakan
penghimpunan hadits secara sistematis yang diklasifikasikan menurut
subjek-subjek atau bab-bab tertentu. Karenanya, tashnif terkadang juga
disebut dengan tabwib (penyusunan hadits berdasarkan bab-bab tertentu).
Di samping itu, tashnif dapar berarti penyusunan ulang materi tertulis
secara praktis ke dalam juz-juz dan pasal-pasal yang berlainan.[3]
c) Ta’lif
Kata ta’lif mempunyai
makna pokok “menggabungkan satu atau banyak entitas dengan entitas lainnya.”
Dalam Taj al-Arus disebutkan, “Allafa bainahuma ta’lifan”, yang
artinya, “mempersatukan atau mengumpulkan keduanya setelah bercerai-berai, dan
menyambungkannya.” Menurut Al-Jurjany, istilah ta’lif mengandung arti
“mengandung sesuatu yang banyak dengan nama
yang satu, sama saja sebagian juznya dihubungkan dengan bagian yang
lain, dengan pengawalan dan pengakhiran ataupun tidak.” Dari sini, maka
pengetian ta’lif hadits adalah usaha penghimpunan hadits dalam sebuah
kitab, baik disertai dengan pengklasifikasian ataupun tidak. Jadi, ta’lif
pemakaiannya lebih umum daripada tartib atau tashnif.[4]
d) Jam’
Dibanding dengan istilah kitabah,
tashnif dan ta’lif, tampaknya istilah jam’ mempunyai
pengertian yang lebih dekat dengan tadwin. Seperti disinggung
sebelumnya, kata tadwin secara literal berarti “penghimpunan” (jam’).
Hanya saja, kata jam’ lebih sering digunakan dalam konteks dokumentasi
al-Quran yang mengandung dua pengertian: (1) perekaman dalam hafalan (hifzh);
dan (2) penulisan (kitabah). Dalam konteks pemakaian umum, kata jam’
lebih sering diartikan dengan kitabah daripada hifzh.[5]
C.
BAB
III
Sejarah
dan Perkembangan Tadwin Hadits
A.
Periode Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam (Masa Turunnya Wahyu)
Menurut Ibnu Hajar Al
Asqalani pada masa Rasulullah belum ada usaha tadwinul hadits dikarenakan oleh dua
faktor utama, yaitu:
1.
Tidak dianjurkan oleh
Rasulullah karena adanya kekhawatiran akan tercampurnya dengan al Quran.
2.
Kuatnya hafalan para
sahabat dan tradisi baca tulis masih dalam perkembangan
Selain dua faktor tersebut juga dikhawatirkan akan
berpalingnya sahabat dari Al Quran.
Pada masa ini para sahabat lebih ditekankan dalam
penulisan dan penghafalan Al Quran. Dalam hadits yang dirawayatkan sahabat Abu
Said Al Khudhry, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
لا تكتبوا عني و من كتب عني غير القرأن فليمحه
وحدثوا عني ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه مسلم)
“Janganlah kalian menulis (hadits) dariku dan barangsiapa
menulis selain Al Quran dariku, hendaklah ia menghapusnya. Kabarkanlah (hadits)
dariku dengan leluasa dan barangsiapa yang berdusta dengan sengaja atas namaku,
maka bersiap-siaplah tempat duduknya di neraka.” (HR Muslim)[6]
Meskipun demikian hal tersebut tidak dinafikkan akan adanya proses
penulisan hadits, terutama oleh para sahabat yang telah diakui keahliannya
dalam kebahasaan dan tulis menulis. Diantaranya adalah hadits yang ditulis
Abdullah bin Amr bin Ash. Diterangkan oleh Abu Dawud dalam suatu riwayat:
عن عبد
الله ابن عَمر و قال كنت أكتب كل شيء اسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم، اريد
حفظه فنهتني قريش وقالوا أتكتب كل شيئ تسمعه و رسول الله صلى الله عليه وسلم بشر
يتكلم في الغضب والرضا؟ فامسكت عن الكتاب فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم
فأومأ باصبعه الى فيه فقال اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه الا حق
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia
berkata, ‘Aku menulis segala yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
(karena) aku ingin memeliharanya. Namun, seorang Quraisy melarangku dan
berkata, ‘Apakah kau tulis segala yang kau dengar, sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
adalah manusia biasa yang berada dalam marah dan dalam suka?’ Kemudaian,
aku pun menahan diri dari penulisan itu. Kemudian aku sampaikan kepada
Rasulullah. Beliau bersabda, ‘Tulislah, demi yang diriku ada di tangan-Nya
tidak ada yang keluar darinya kecuali yang haq.”[7]
Dari riwayat-riwayat di atas terdapat suatu pertentangan (ikhtilaf)
yang kemudian disebut dengan hadits mukhtalaf. Para ulama memberikan teori
kemungkinan dan kompromi dalam memahami hadits mukhtalaf tersebut:
1.
Pencatatan hadits dilarang
pada permulaan Islam, sedangkan tatkala Islam sudah tersebar luas para sahabat
diperbolehkan mencatatnya.
2.
Pencatatan hadits dilarang
bagi mereka yang belum bias membedakan antara ayat-ayat Al-Quran dengan hadits
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
3.
Pencatatan hadits dilarang
bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah dan bagi mereka yang sulit
memahaminya diizinkan mencatatnya.
4.
Pencatatan hadits dilarang
jika dicampuradukkan dengan Al Quran.
5.
Pencatatan hadits dilarang
jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits daripada Al-Quran yang
sekiranya akan menyia-nyiakan Al-Quran.[8]
Adapun para sahabat yang diperbolehkan untuk mencatat hadits dari
Rasulullah adalah sahabat yang diakui akan keahliannya dalam tulis menulis dan
dokumentasi sehingga tidak ada kekhawatiran akan tercampur dengan Al Quran.
Selain yang tersebut di atas penulisan hadits juga dilakukan pada
saat-saat tertentu terutama mengenai urusan kenegaraan, seperti
piagam/perjanjian (baiat Aqabah, Hudaibiyah, Piagam Madinah) dan surat-menyurat
dan juga ada beberapa wasiat dari Rasulullah.
B.
Periode Sahabat
Masa
ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.[9] Para sahabat terbagi dalam dua pandangan dalam
penulisan hadits. Sebagian sahabat tidak mengakui adanya penulisan hadits dan
diantara yang lain setuju dengan penulisan hadits. Ibnu Shalah dan Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa kelompok sahabat yang tidak menyetujui penulisan hadits
adalah Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari,
Abu Sa’id Al-Khudhry dan yang lainnya. Sedangkan kelompok sahabat yang
membolehkan penulisan hadits adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Anas bin
Malik dan yang lannya.[10] Pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab perkembangan periwayatan hadits belum terlalu signifikan karena belum
ada pengajaran ilmu hadits secara khusus sebagaimana Al Quran. Hadits waktu itu
hanya diketahui dan dipelajari oleh kalangan tertentu dan orang-orang yang
mendalaminya sangat terbatas. Kebijakan tersebut tidak lain dilakukan agar Al
Quran tetap menjadi sumber ajaran utama dan menerima hadits dari
sahabat-sahabat lain di waktu-waktu tertentu.[11]
Mekipun
demikian, di masa sahabat juga didapati dokumen-dokumen penulisan hadits baik
yang dilakukan sejak masa Rasulullah maupun setelah Rasulullah meninggal.
Perlakuan ini dilakukan pada kondisi khusus dan tidak menjadi suatu yang umum
pada masa itu. Dokumen-dokumen peninggalan era sahabat diantaranya adalah:
1.
Ash-Shahifat Ashadiqah.
Adalah kumpulan Hadits Rasulullah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash.
Menurut Ibn Al-Atsir di dalamnya terdapat 1.000 hadits.[12]
2.
Shahifat Ali bin Abi
Thalib, yaitu lembaran-lembaran catatan hadits. Di dalamnya berisi tentang
zakat, hukum pidana, dan lainnya, disimpan dalam sarung pedang beliau.
3.
Kitab Faraidl milik
Zaid bin Tsabit. Beliau yang pertama kali mencatat yang berisi koleksi hadits
seputar hukum waris atas permintaan Khalifah Umar bin Khaththab.[13]
4.
Shahifat Jabir ibn
Abdillah. Jabir ibn Abdillah dikenal memiliki sebuah shahifat hadits,
yang berisi hadits-hadits yang beliau catat ketika mengajar murid-muridnya.
Selain itu ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau juga mempunyai sebuah
kitab kecil yang berisi tentang manasik haji.
5.
Nushkhat Samurah ibn
Jundub. Beliau telah menghimpun sejumlah hadits-hadits Rasulullah ke dalam
bentuk buku yang dinamakan nuskhah (terkadang juga disebut shahifat,
risalah dan kitab). Di antara yang telah menerima dan meriwayatkan
hadits dari beliau adalah Salman bin Samurah bin Jundub, Ibnu Sirrin dan Hasan
Al Bashry.
6.
Kitab dan Mushhaf Fathimah
Az-Zahra. Dilaporkan bahwa beliau memiliki shahifah atau kitab yang berisi
wasiat-wasiatnya sendiri. Di dalamnya terdapat hadits-hadits dari Rasulullah.[14]
7.
Selain dokumen-dokumen
hadits yang telah dipaparkan, masih ada puluhan lagi dokumen yang ditulis oleh
atau berasal dari para sahabat baik yang berupa nuskhat, shahifah
atau pun kita.[15]
C.
Periode Tabiin
Masa
ini dikenal dengan masa perkembangan riwayat. Perkembangan riwayat dan
perlawatan-perlawatan ahli hadits untuk mencari dan mengumpulkan hadits
melebihi masa sebelumnya.[16] Pandangan para tabiin berkenaan dengan penulisan
hadits pada umumnya sesuai dengan pandangan para sahabat yang menjadi guru
mereka. Meskipun demikian adanya pelarangan penulisan hadits tidak lah berlaku
permanen. Mereka umumnya melarang penulisan hadits ketika sebab-sebab
pelarangan itu masih ada, dan sebaliknya mereka membolehkan aktivitas penulisan
ketika sebab-sebab pelarangan telah hilang. Bahkan, menurut hasil penelitian
Muhammad Mustafa Azami dan Imtiyaz Ahmad, dari seluruh tabiin yang dikabarkan
tidak menyetujui penulisan hadits ternyata hampir semuanya mempunyai catatan
hadits atau setidaknya mengizinkan murid-muridnya untuk mencatatnya.
Pada
masa ini telah dilakukan tadwinul hadits secara resmi atas prakarsi Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Diantara ulama yang ditunjuk oleh beliau untuk
melaksanakannya adalah Ibnu Syihab Az Zuhry (lama Hijaz) dan Ibnu Hazm
(Gubernur Madinah). Diantara factor yang mendorong usaha tersebut adalah
Khalifah merasa khawatir akan punahnya
pengetahuan hadits karena kepergian para ulama. Namun sayangnya hanya Az-Zuhry
yang berhasil melakukan misinya sebelum khalifah wafat.[17] Usaha peghimpunan oleh Az-Zuhry sebenarnya belum
dikatakan sempurna, yaitu ketika masa kekhalifahan Umar yang hanya berlangsung
2,5 tahun. Kemudian usaha itu dilanjutkan pada masa Yazid II dan Hisyam bin
Abdul Malik setelah beliau diangkat menjadi Qadhi Qudhat.
Selain
yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa shahifat-shahifat yang berasal
dari kalangan tabiin:
1.
Shahifat Said ibn
Jubair.
2.
Shahifat Sulaiman
ibn Qais.
3.
Shahifat Hamam ibn
Munabbih.
D. Periode Tabiitabiin
Pada masa in telah dilakukan
pengumpulan hadits secara sistematis dan merupakan era perkembangan hadits yang
sangat penting. Cirri-ciri umum tadwin hadits pada masa ini yaitu[18]:
1.
Mulai ada pemilahan antara
tadwin yang hanya sekadar menghimpun hadits dengan tashnif, yaitu menyusun
hadits secara teratur dan sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek tertentu.
2.
Karya-karya kompilasi
hadits yang ditulis selama periode ini menggabungkan antara hadits Nabi,
pendapat sahabat (khabar), dan fatwa tabiin (atsar). Berbeda
dengan shahifat-shahifat sebelumnya yang pada umumnya hanya berisi hadits Nabi
saja.
Diantara kitab-kitab hadits yang
ditulis pada masa ini yaitu:
1.
Muwaththa’ Imam
Malik bin Anas bin Malik. Kitab ini belau tulis selama 40 tahun lalu dibacakan
kepada 70 ulama Fiqih di Madinah, dan mereka semua merasa memperoleh kemudahan
darinya. Maka dari itu kitab ini diberi nama Muwaththa’ yang berarti
“dimudahkan”. Menurut Abu Bakr al-Abhary di dalamnya memuat 1.720 hadits dengan
rincian hadits musnad berjumlah 600 buah, hadits mursal 222 buah,
hadits mauqif 613 buah dan hadits maqthu’ 285 buah.
2.
Muwaththa’ ‘Abdullah
ibn Wahb. Di dalamnya termuat tidak kurang dari 521 buah hadits yang ditulis
berdasarkan sistematika Fiqih.
3.
Musnad Abi Dawud Ath
Thayalisi. Kitab ini dianggap sebagai karya hadits pertama yang disusun dengan
menggunakan metode musnad yaitu disusun berdasarkan urutan nama sahabat
periwayat hadits yang dimulai dari nama Abu Bakr. Di dalamnya termuat sekitar
2.767 hadits.
4.
Mushannaf Abd Al-Razzaq.
Mushannaf ini disusun berdasarkan sistematika Fiqih dan memuat sekitar
21.033 hadits.
5.
Sunan dan Musnad
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy; keduanya disusun berdasarkan sistematika
fikih. Kitab Sunan terdiri dari 684
hadits, sedang kitab Musnad terdiri dari 1.772 hadits.
E.
Periode atba’
tabi’it tabi’in
Periode ini mengalami perkembangan dari
periode sebelumnya. Diantara corak perkembangan penulisan hadits pada periode
ini yaitu[19]:
1.
Telah dilakukan pemilahan
antara hadits Nabi dengan yang lainnya. Hal ini berbeda dengan periode
sebelumnya yang masih menggabungkan antara hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam
dengan pendapat-pendapat para sahabat dan fatwa-fatwa tabiin.
2.
Sudah mulai ada perhatian
untuk memberi penjelasan tentang derajat hadits dari segi keshahihan dan
kedaifannya.
3.
Karya-karya hadits yang
ditulis dapat mengambil judul: musnad, shahih, sunan, mukhtalif hadits,
atau yang lainnya.
Periode
ini termasuk periode puncak kompilasi hadits Nabi; dan munculnya kitab-kitab
hadits terkenal adalah pada masa ini. Diantara kitab-kitab hadits yang telah
tersusun pada masa itu antara lain:
a. Shahih Al-Bukhari.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin al-Bardzibah al-Bukhary
al-Ju’fy. Judul lengkap kitabnya yaitu al- Jami’ al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtashar min Umur Rasulillah Shallalahu’alaihiwasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi
(الجامع المسند الصحيح المختصر
من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم و سننه وايامه).
Sistematika
kitab Shahih al-Bukhary
terdiri dari beberapa Bab (kitab) dan jumlahnya mencapai 97 judul bab.[20]
Berdasarkan angka penomoran hadits paling akhir dalam naskah kitab yang diedit
oleh Mustafa adz-Dzahaby, kitab shahih al-Bukhary terdiri dari 7.563 hadits.
Menurut Ibn ash-Shalah, jumlah haditsnya sebanyak 7.275 hadits, termsuk yang
terulang, atau 4.000 hadits tanpa pengulangan. Sementara menurut penghitungan
Ibn Hajar Al-Asqalany, jumlah haditsnya mencapai 9.082 buah, termasuk yang
diulang. Namun jika dihitung tanpa pengulangan, maka jumlah haditsnya hanya
2.062 buah.[21]
b. Shahih
Muslim
Disusun oleh Abu Al-Husain
Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim ibn Warad ibn Kausyadz al-Qusyairy
an-Naisabury. Beliau dilahirkan pada 206 H dan wafat pada 261 H pada usia 55
tahun. Judul lengkap kitabnya yaitu al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min
al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasulillah Shallallahu’alaihiwasallam
(المسند الصحيح المختصر من السنن بالنقل العدل عن العدل عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم). Jumlah
hadits yang termuat di dalamnya sekitar 4.000 hadits, tanpa pengulangan, atau
12.000 hadits, dengan pengulangan. Sistematika pembahasannya terdiri dari atas
54 bab (kitab) yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa
subbab (bab). Judul bab dan subbabnya tidak ditulis oleh Muslim sendiri, tetapi
dicantumkan oleh para Ulama dan pensyarah yang hidup sesudahnya. Ulama yang
paling baik membuat judul-judul babnya adalah Imam an-Nawawy dalam kitab syarh
Muslimnya.[22]
c. Sunan
Abi Dawud.
Disusun oleh Sulaiman ibn
al-Asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syadah ibn ‘Amr ibn ‘Amran Abu Dawud
al-Azdy al-Sijistany.[23]
Karya ini dipandang sebagai salah satu karya terbaik dan terlangkap dalam
bidang hukum. Sistematika pembahasannya diurutkan klasifikasi bab-bab fikih
yang terdiri dari 40 judul bab. Jumlah hadits yang dimuat sebanyak 4.800
hadits, tanpa pengulangan, atau 5.274 hadits, dengan pengulangan.
d. Jami’
At-Tirmidzi
Kitab jami’ ini disusun oleh
Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dlahhak As-Sulamy At-Tirmidzy
(w. 279 H)[24].
Judul lengkapnya adalah al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘n Rasulillah
Shallallahu’alaihiwasallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul al-‘Amal (الجامع المختصر من السنن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم و معرفة
الصحيح و المعلول و ما عليه العمل). Sistematika kitab ini diurutkan berdasarkan bab-bab Fikih dan
bab-bab lainnya. Susunan bab (kitab) di dalamnya terdiri dari atas 46
judul bab. Jumlah hadits yang dihimpun sekitar 3.956 hadits.[25]
e. Sunan
an-Nasa’i
Kitab ini ditulis oleh Abu
‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Aliy ibn Sinan ibn Bahr ibn Dinar
al-Nasa’I (w. 303 H).[26]
Judul awalnya adalah al-Mujtaba, namun kemudian dikenal dengan Sunan
al-Shughra. Metode penyusunannya mengikuti sistematika fikih. Susunan
babnya (kitab) terdiri atas 51 judul bab. Jumlah haditsnya sebanyak
5.761 buah.[27]
f.
Sunan ibn Majah
Karya ini disusun oleh Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Yazid ibn Abdillah ibn Majah al-Riba al-Qazwiny (w. 375 H).[28]
Sistematika pembahasannya terdiri atas 32 bab (kitab) dan 1.500 subbab (bab).
Jumlah haditsnya mencapai 4.341 hadits.[29]
F.
Periode Pasca Atba’
Tabi’ittabi’in
Pada
masa ini masih terus dilakukan tadwin hadits, yaitu hingga abad V Hijriyah.
Penulisan judul hadits masih mengikuti judul-judul sebelumnya, seperti: ash-shahih,
sunan dan musnad lalu ditambah dengan judul-judul baru seperti mustadrak,
mustakhraj, mu’jam dan majma’.[30] Diantara kitab terkenal yang berhasil disusun
yaitu:
a) Mu’jam Thabrany
Disusun
oleh Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub ibn Muthair al-Lakhamy al-Syamiy
al-Thabrany.[31] Beliau menulis 3 buku yaitu Mu’jam al-Kabir,
Mu’jam al-Ausath, dan Mu’jam al-Shaghir. [32] Jika dikatakan Mu’jam secara umum maksudnya
adalah Mu’jam al-Kabir. Mu’jam
Al-Kabir terdiri dari 60.000 hadits; Mu’jam al-Ausat terdiri dari 30.000
hadits; dan Mu’jam ash-Shaghir terdiri dari hadits yang diriwayatkan 100 guru
dan pada umumnya masing-masing guru meriwayatkan satu hadits.[33]
b) Mustadrak Al Hakim. Tersusun atas 50 judul bab (kitab)
dan terdiri dari 8.690 hadits.
c) Shahih ibn Khuzaimah
d) Shahih ibn Hibban
e) Sunan Daruquthny[34]
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Proses penulisan hadits melewati periode
yang panjang, tidak seperti al Quran sehingga memunculkan berbagai corak dalam
penulisan kitab hadits. Keterlambatan penulisan hadits dikarenakan
dikhawatirkannya umat berpaling dari Al Quran dan para sahabat lebih mengandalkan
hafalan dibanding tulisan. Terdapat beberapa teori tentang awal mula tadwin
hadits. Perbedaan persepsi tersebut berangkat dari perbedaan pengertian dari
istilah tadwin, tashnif, ta’lif, jam’ dan kitabah. Namun dari
berbagai teori yang ada yang paling masyhur adalah dimulainya tadwin hadits
secara resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Dan aktivitas
penyempurnaan tadwin hadits terus berlangsung paling tidak hingga abad ke-5
Hijriyah.
B. Saran
Sangat ditekankan bagi pelajar ilmu hadits
untuk mempelajari secara komprehensif tentang sejarah tadwin hadits ini. Selain
sebagai penambah khasanah keilmuan, studi ini juga sangat berkaitan erat dengan
studi kritik. Semoga hadirnya makalah ini dapat member manfaat bagi para
pembaca. Hanya kepada Allah lah kita memohon hidayah dan taufiq.
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin. Arus
Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2011
Abdurrahman,
dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadits. Bandung: Remaja Kostakarya. 2013
Muhibbin.
Hadits-Hadits Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
At-Thahan,
Mahmud. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits (terjemah). Surabaya: Bina
Ilmu. 1995
[1]
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits Dan Historiografi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35-37.
[2]
Ibid, hlm.37-38.
[3]
Ibid, hlm. 39-40.
[4][4]
Ibid, hlm. 40.
[5]
Ibid, hlm. 40.
[6]
Muslim binHajjaj an-Naishabury, Shahih Muslim, juz II, n.p, d.p., hlm.
598.
[7]
Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: Remaja
Kostakarya, 2013, hlm. 4.
[8]
Syihabuddin ibn Hajar Al Asqalani, Muqaddimah Fathul Bary, Beirut: Dar
Ma’rifat, tth., hlm. 4. Ibid, hlm. 6.
[9]
Hasbi Ash-Shidiqie, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1967, cet. 2, hlm. 206, 211. Abdurrahman dan Elan Sumarna, op. cit., hlm
70.
[10]
Saifuddin, op. cit., hlm. 124.
[11] Abdurrahman dan Elan Sumarna, op. cit.,
hlm. 76-77.
[12]
Saifuddin, op. cit., hlm. 128.
[13]
Ibid, hlm. 133.
[14]
Ibid, hlm. 134.
[15]
Loc. Cit.
[16]
Abdurrahman dan Elan Sumarna, Op. Cit, hlm.79
[17]
Saifuddin, op. cit., hlm. 144-145.
[18]
Ibid, hlm 148-149.
[19]
Ibid, hlm 157.
[20]
Ibid, hlm. 158.
[21]
Ibid, hlm. 209.
[22]
Ibid, hlm 159.
[23]
Ibid, hlm. 326.
[24]
Ibid, hlm. 211.
[25]
Ibid, hlm. 160.
[26]
Ibid, hlm. 211.
[27]
Ibid, hlm. 161.
[28]
Ibid, hlm. 211.
[29]
Ibid, hlm. 161.
[30]
Ibid, hlm. 163.
[31]
Ibid, hlm. 213.
[32]
Ibid, hlm. 164.
[33]
Mahmud Thahan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits (terjemah),Surabaya:
Bina Ilmu, 1995, hlm 30.
[34]
Saifuddin, op. cit. hlm 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar