BLOG UNTUK MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB KELAS C SEMESTER I

Rabu, 10 Desember 2014

HAKIKAT, REVOLUSI DAN PARADIGMA ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kita hidup di zaman modern telah dihadapkan dengan berbagai tentang disiplin ilmu dan pengetahuan. Ada suatu pertanyaan bagaimana proses kemunculan ilmu-ilmu tersebut. Setelah melakukan beberapa kajian, ternyata umat Islam lah yang paling berperan dalam pengembangan ilmu. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang perkembangan ilmu.
B.      Dasar Permasalahan
1.       Apakah yang dimaksud ilmu dan pengetahuan?
2.       Bagaimana perkembangan ilmu?
3.       Kapankah proses perumusan ilmu di mulai?
4.       Siapa saja tokoh yang paling berperan dalam pengembangan ilmu?
5.       Mengapa perlu ada revolusi  paradigm ilmu?

C.      Tujuan Pembahasan
1.       Mengetahui pengertian ilmu dan pengetahuan.
2.       Mengetahui sejarah perkembangan ilmu.
3.       Mengetahui tokoh-tokoh yang berjasa dalam perkembangan ilmu.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      HAKIKAT ILMU
Pengertian Ilmu

Secara etimologi ilmu adalah  lawan  kata dari jahl/bodoh , secara terminologi ilmu adalah sesuatu yang dengannya akan tersingkap secara sempurna segala hakikat yang dibutuhkan .sedangkan menurut para ulama definisi ilmu diantaranya adalah :

Menurut imam Raghib Al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Mufradat Fi Ghoribil  Qur’an ilmu adalah mengetahui sesuatu  dengan  hakikatnya.Hal tersebut terbagi menjadi dua, pertama mengetahui inti sesuatu itu dan kedua adalah menghukumi sesuatu pada sesuatu yang ada.

Menurut Imam Muhammad bin Abdul Rauf Al-Munawi ilmu adalah keyakinan yang kuat yang tetap dan sesuai dengan realitaatau ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam akal.

Adapun menurut syari’at ilmu adalah pengetahuan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dan diamalkan baik berupa amal hati,amal lisan, maupun amal anggota badan.

Dalam pengertian syariat ilmu yang benar adalah yang diperoleh berdasarkan sumber yang berasal dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW yang disebut juga ayat-ayat syariah dan penelitian terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam semesta yang disebut juga Ayat-ayat kamilah,melahirkan rasa ketundukan kepada Allah dan diamalkan sebagaiman firman Allah dalam surat Fathir ayat 28 : “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya ,hanyalah ulama”.[1]

Ada semaca perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan (knowledge/الثقافة) yang dimaksud di sini adalah kumpulan fakta yang berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, misalnya jamu-jamuan, sejarah susunan kependudukan dan lain-lain. Sedangkan ilmu (science/العلم) adalah pengetahuan yang telah disistematiskan, yaitu susunan teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja dan tujuannya. Jika pengetahuan belum ketat diikat oleh suatu tata tertib, maka ilmu justru diikat oleh suatu kesamaan cara kerja yang disebut metodologi dan merupakan suatu disiplin ilmiah. Baik pengetahuan maupun Ilmu, kedua-duanya lahir dari pengamatan yang cermat melalui panca indera baik dengan ataupun tanpa alat-alat bantuan.[2]

Perkembangan Ilmu dan Pengetahuan

Jika awalnya umat Islam mengenal ilmu hanya terbatas pada penerapan ilmu-ilmu Syariat. Maka seiring perkembangan zaman definisi ilmu menjadi lebih kompleks. Maka dari itu, muncullah paradigma baru tentang ilmu. Paradigm merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Paradigm dirumuskan sebagai pandanganmendasar dari sesuau disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.

Ada pepatah mengatakan:

افضل العلم علم الحال. ز افضل العمل حفظ الحال

“Sebaik-baik imu adalah ilmu terapan, dan sebaik-baik perbuatan adalah menjaga penerapan ilmu”.[3]

Ditinjau dari kaidah yang dikemukakan sebelumnya, sebenarnya belum terdapat ilmu dalam kebudayaan Mesir Purba (5000 SM), India Purba (4000 SM),Tiongkok Purba (2000 SM), Parsi Purba (1000 SM)dan Yunan-Romawi (500 SM). Kebudayaan-kebudayaan tadi telah menghasilkan timbunan-timbunan pengetahuan yang bernilai berdasarkan pengamatan-perenungan tetapi belum menghasilkan metode ilmiah yang sistematik karena pengetahuan mereka masih bercampur aduk dengan takhayul, kepercayaan dan filsafat. Pengetahuan mereka belum dapat melepaskan diri dari rabaan-rabaan dan pengandaian-pengandaian yang tida dibuktikan dan penarikan kesimpulan tanpa pengalaman (empire).

Pengujian berdasarkan fakta objektif tidak terdapat dalam filsafat, melainkan di dalam ilmu. Filsafat kerap bersifat a priori (sebelum pembuktian), sedangkan ilmu selalu bersifat a posteriori (sesudah dibuktikan). Filsafat dapat melahirkan ilmu, misalnya ilmu jiwa dan ilmu masyarakat. Namun, filsafat berani terus berjalan sambil meraba-raba di dalam kelam, sedang ilmu berhenti dahulu dan menanti lkalu telah tiba di daerah-daerah yang tidak dikenal (terrae incognita). Hal ini terjadi karena ilmu hanya menghendaki apa saja yang positif. Ilmu tidak mau tersesat. Dugaan yang biasa dijadikan titik tolak di dalam filsafat dibuang dari ilmu kalau memang tidak lulus di dalam ujian pengalaman selanjutnya.[4]

Islam adalah agama yang tidak terselubung oleh kabut khayal. Islam yang menemukan metode ilmiah, yaitu metode empiric-induktif dan percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasa alam semesta yang menjadi perintis modernisasi Eropa dan Amerika. Jika pada mulanya gerakan ilmu itu hanya tertujupada telaah agama (hadits, tafsir, fiqih, ushuludin, dan sejenisnya), maka kemudian ilmu berkembang menjadi lingkup yang luas. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, khalifah Harun Al Rasyid mendirikan Darul Hikmah/Baitul Hikmah (yang kemudian disempurnakan oleh putranya Al-Makmun) atau Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, observatorium bintang dan universitas. Lalu Al Makmun mengirimkan serombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma dan lain-lain yang antara lain terdiri dari Abu Yahya ibn Al-Batriq, Muhammad ibn Sallam, Hunayn ibn Ishak dan pemimpin Darul Hikmah, Hajjaj ibn Yusuf ibn Mathar. Mereka di sana memilih buku-buku pengetahuan yang beluym dipunyai oleh umat Islam untuk kemudian dibawanya ke Baghdad untuk diterjemah, diteliti dan dibahas. Setelah itu lahirlah ilmu pengetahuan dari kalangan Islam sendiri, baik yang bersifat memperkaya karya-karya asing yang telah ada maupun sama sekali baru. Akhirnya pembangunan ilmiah Islam ini disempurnakan oleh kekuasaan Islam di Andalusia dan Spanyol dari tahun 719 M sampai jatuhnya Granada pada tahun 1492 M.[5]

Tertarik oleh metode ilmiah Islam, seorang frater[6] Katolik Roma bernama Roger Bacon (1214-1292) dating untuk mempelajari Bahasa Arab ke Paris dan Toledo. Bermodakan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa sarjana Kristen lainnya pada masa itu. Beberapa buah karya sarjana-sarjana muslim, diantaranya adalah Al Manadzhier karya

Ali al-Hasanibn Haitsam (965-1038 M,) diterjemahkan oleh Bacon ke dalam bahasa latin. Dalam naskah-naskah tersebut terdapat keterangan-keterangan mengenai mesiu dan mikroskop. Namun, Bacon secara tidak jujur telah mencantumkan namanya sendiri pada terjemahan-terjemahan itu dan dengan demikian ia melakukan plagiat secara terang-terangan. Hal itu sama sekali berbeda dengan kaum Muslimin yang menerjemahkan karya-karya Pythagoras, Plato, Aristoteles, Aristochus, Euclides, Cladius Ptlemaios dan lain-lainnya.

Kira-kira empat  abad kemudian Francis Bacon (1561-1627 M) menyebarluaskan teori induksi dan percobaan-percobaan ilmiah di dalam karya-karyanya. Berkat adanya penemuan cetak buku (1450 M) buku-buku tersebut telah dicetak –sekalipun dibakar gereja, sebagian dapat diselamatkan kemudian dicetak ulang. Demikianlah dunia Barat yang buta mengenai asal-usul apa yang disebut Baconian Philosophy itu kemudian telah menyandarkan (ascribed) metode Ilmiah kepadanya yang atas dasar metode tersebut Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang pesat di Barat dan Amerika. [7]

Paradigma Ilmu

Kebangkitan kembali (renaissance) pada abad 14, reformasi pada abad ke-15, dan rasionalise pada abad 17 dan pencerahan abad189, memancar dari karya-karya ilmiahkaum Muslimin itu, tetapi terlepas dari tauhid serta berubah menjadi anthroposentrik dan menjadi duniawi (secularistic). Sifat mereka yanglebih mementingkan dunia daripada akhirat membuat corak peradaban barat cenderung materialistic dan sekularis. Mereka mengambil ilmu-ilmu sains dari umat Muslim yang berkenaan dunia saja, namun tidak mengambil ruh ilmu itu sendiri yaitu Tauhid. Padahal dengan aqidah Tauhid itulah umat muslim mampu merumuskan dan membangun ilmu-ilmu.

Pemahaman pemisahan antara agama dan sains di kalangan orang-orang barat yang belum masuk Islam tampaknya bermula dari ideology agama mereka terdahulu yang jumud dan terkontaminasi oleh tangan-tangan Yahudi. Yaitiu kitab-kitab Injil yang digunakan oleh orang-orang barat yang telah dirubah sedemikian rupa sehingga menghilangkan esensi agama dari sifat yang aslinya. Atas pemahaman itulah muncul teori sekularisme. Mereka mengharapkan penghidupan dunia yang abaik melalui sains yang telah dikembangkan umat muslim, namun tetap dalam agama mereka yang penuh kesesatan.

Metode Barat yang kini semakin tenggelam dalam alam materialism, jauh dari unsure kerohanian dan akhlak, justru menjadi tamu yang harus diterima kehadirannya di rumah-rumah kaum muslimin. Seakan-akan tidak seorang pun yang mampu menolak, apalagi mengusirnya. Filsuf Jerman, Syefetser, dalam bukunya yang diterjemahkanDr. Abdul Hamid Al Mutawalli menjadi Al Ghazwul Fikri wat Tayyarat Al Mu’addiyah lil Islam, mengatakan: “ Dewasa ini, kita hidup pada masa kehancuran kebudayaan. Pada saat panji kebudayaan dan kebiadaba berpadu.”[8]

Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

“Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Al Israa’: 18)

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ.

“Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Al Baqarah: 200-202)

Umat muslim diperintah untuk memperhatikan kehidupan di akhirat, namun juga didorong untuk membangun kehidupan di dunia tanpa melalaikan akhirat. Untuk mampu melakukan itu semua harus dengan ilmu, sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi’i:

من اراد الدنيا فعليه بعلم، ومن اراد الاخرة فعليه بعلم، ومن ارادهما فعليه بعلم.

“Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menghendaki akhirat, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menghendaki keduanya, maka harus dengan ilmu.”

Dan tentu saja pemahaman ini tidak akan dijumpai, kecuali pada orang-orang mukmin.

Dalam Islam, antara agama dan sains itu mempunyai keterikatan. Dan inti keduanya adalah tauhid. Agama ini diturunkan agar manusia mau bertauhid. Termasuk sains/ilmu pengetahuan muncul sebagai penjelas-penjelas tentang Tauhid, terutama tauhid Rububiyah; tentang bagaimana Allah menciptakan alam semesta ini yang kemudian dijabarkan dalam ilmu sains.





BAB II
PENUTUP
A.      KESIMPULAN

Munculnya ilmu-ilmu di dunia ini tak lepas dari peran kaum muslimin. Al Quran sebagai wahyu untuk member petunjuk kepada manusia telah mendorong manusia untuk senantiasa memajukan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu di barat sekarang adalah berkat usaha kaum muslimin yang kemudian diadopsi oleh mereka. Sayangnya banyak dari mereka yang tidak menyandarkan identitas kaum muslimin sebagai pencetus ilmu dan bahkan sebagian mengatasnamakan diri mereka sendiri. Hakikat antara agama dan ilmu itu adalah mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Munculnya paham sekularisme di barat sekarang berkaitan dengan kondisi agama mereka yang jumud. Untuk lebih jelas digambarkan pada bagan di bawah ini:




B.      Saran

Kita sebagai umat muslim hendaknyatetap focus untuk tujuan akhirat namun tetap tidak lupa untuk memajukan kehidupan dunia. Dengan demikian diharapkan umat muslim akan menjadi umat yang handal dalam segala aspek  kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Asy Syarqawi, Hasan. Manhaj Ilmiah Islam (terjemah). Jakarta: Gema Insani. 1994.
Kadir, Muslim A. Ilmu Islam Terapan, Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
Khasanah, Nur dan Dewi Al Mahfidzhoh. Makalah Pengelompokan Ilmu dalam Islam. Yogakarta. 2014
Nashiruddin, Hamam. Tafhimul Muta’allim, Tarjamah Kitab Ta’limul Muta’allim li Syaikh Az-Zarnuji. Kudus: Menara Kudus. 1963.
Poeradisastra. Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Depok: Komunitas Bambu. 2008




[1] Nur Khasanah dan Dewi Al Mahfudzoh, Pengelompokan Ilmu Dalam Islam (makalah kuliah). 2014, hlm. 1.
[2] Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Depok: Komunitas Bambu, 2008, cet. 3, hlm.1-2.
[3] Hamam Nashirudin, Tafhimul Muta’allim tarjamah Ta’lim Mutaallim,Menara Qudus, 1963, hlm. 11
[4] Ibid, hlm. 5-7.
[5] Ibid, hlm. 11-16.
[6] Frater adalah calon pastur, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[7] Poeradisastra, Op. Cit., hlm. 18-20.
[8] Hasan Asy Syarqawi, Manhaj Ilmiah Islam (terjemah), Jakarta: Gema Insani, 1994, hlm. 14-15.

1 komentar: